Oleh: Maulana La Eda

Dua belas tahun lalu, saya pernah dialog dengan ayah saya tentang posisi bersedekap dalam shalat. Ayah saya saat itu memarahi saya karena menyelisihi mazhab Syafii dalam bersedekap, sedangkan saya ngotot bahwa posisi bersedekap yang benar adalah pada dada, adapun selainnya maka tidak benar.

Kalau mengenang hal ini, saya mesti tersenyum-senyum sendiri, bukan karena ayah saya salah, atau mukallid sejati seperti saya, tapi karena waktu itu saya mempertahankan pendapat yang tidak ada salafnya.

Ya, bersedekap di atas dada itu, tidak ada salafnya dari kalangan sahabat, tabiin dan tabi’ tabiin. Hanya saja ia diriwayatkan dari amalan Ishaq ibnu Rahuwiyah yang hidup di generasi awal abad ke-3 H, itu pun beliau melakukannya hanya sekali-sekali, dan beliau juga lebih memilih bersedekap di bawah pusar seperti Imam Ahmad dan mazhab jumhur ulama karena hal itu lebih menunjukkan sikap tawadhu’. (Lihat: Massail Ahmad wa Ishaq: 2/551). Bahkan mazhab yang 4: tidak ada yang berpendapat sunahnya bersedekap pada dada atau di atasnya.

Lagi pula, hadis-hadis tentang bersedekap di atas dada itu ma’lul, alias semuanya cacat dengan jenis syaadz dan dhaif ghairu muhtamal alias lemah sekali, sehingga tidak bisa saling menguatkan. Bahkan para perawi hadis “sedekap di dada” seperti Imam Ats-Tsauri lebih memilih bersedekap di bawah pusar karena menganggap hadisnya tidak shahih, atau murid-muridnya salah meriwayatkan hadis sedekap darinya dengan tambahan “dan Nabi meletakkan (kedua tangan)nya pada dada”.

Bukan persoalan gonjang-gonjing benar-salah yang hendak ditekankan dalam status ini, sebab berbeda pendapat itu hal biasa, dan menyatakan pendapat orang lain itu salah / haram adalah hal yang lumrah, tapi poin utamanya adalah jangan berani menyatakan orang lain yang berbeda denganmu dalam persoalan cabang-cabang fiqh atau aqidah adalah sesat, karena boleh jadi hal yang hari ini kita anggap sesat dan tidak bisa ditolerir, akan kita nyatakan benar suatu saat nanti. Akhirnya; kita terpaksa menelan ludah sendiri.