Oleh : Ust. Abu Khazin Ginanjar Nugraha

Salat merupakan salah satu rukun Islam yang telah rukun dan syaratnya oleh Allah dan Rasul-Nya. Karena itu dituntut untuk sesuai dengan kaifiyat Rasulullah Saw sebagaimana diriwayatkan oleh sahabat Malik bin al-Khuwairits

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat (HR.Bukhari no.6705)

Dalam salat berjamaah, salah satu kaifiyat salat yang disyariatkan adalah meluruskan dan merapatkan shaf terlebih dahulu, dari sahabat Anas bin Malik

أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَأَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَجْهِهِ فَقَالَ أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ وَتَرَاصُّوا فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي
“Ketika iqamah shalat telah dikumandangkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbalik menghadapkan mukanya kepada kami seraya bersabda: “Luruskanlah shaf dan rapatkanlah, sesungguhnya aku dapat melihat kalian dari balik punggungku.” (H.R. Bukhari, Sahih al-Bukhari 1/145)

Dari Sahabat Nu’man bin Basyir

أَقْبَلَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى النَّاسِ بِوَجْهِهِ ، فَقَالَ : أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ ثَلاَثًا ، وَاللَّهِ لَتُقِيمُنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ قَالَ : فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يَلْزَقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَةِ صَاحِبِهِ وَكَعْبَهُ بِكَعْبِهِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa menghadap kepada jamaah, lalu bersabda: “Luruskanlah shaf shaf kalian! -beliau mengucapkannya tiga kali- Demi Allah, hendaklah kalian benar-benar meluruskan shaf shaf kalian, atau Allah benar–benar akan membuat hati kalian saling berselisih.” Kata Nu’man; Maka saya melihat seseorang melekatkan (merapatkan) pundaknya dengan pundak temannya (orang di sampingnya), demikian pula antara lutut dan mata kakinya dengan lutut dan mata kaki temannya. (H.R. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, 1/178)

Dari Sahabat Abdullah bin Umar

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، قَالَ : أَقِيمُوا الصُّفُوفَ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا الْخَلَلَ وَلِينُوا بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ – لَمْ يَقُلْ عِيسَى بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ – وَلاَ تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللَّهُ ، وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ. قَالَ أَبُو دَاوُدَ : أَبُو شَجَرَةَ كَثِيرُ بْنُ مُرَّةَ ، قَالَ أَبُو دَاوُدَوَ : مَعْنَى وَلِينُوا بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ : إِذَا جَاءَ رَجُلٌ إِلَى الصَّفِّ فَذَهَبَ يَدْخُلُ فِيهِ فَيَنْبَغِي أَنْ يُلِينَ لَهُ كُلُّ رَجُلٍ مَنْكِبَيْهِ حَتَّى يَدْخُلَ فِي الصَّفِّ.

bahwasanya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tegakkanlah shaf-shaf, sejajarkanlah antara pundak-pundak, tutuplah celah-celah dan lemah lembutlah terhadap kedua tangan saudara kalian, -Isa tidak menyebutkan; tangan saudara kalian- dan janganlah kalian membiarkan celah-celah itu untuk setan, barangsiapa yang menyambung shaf maka Allah akan menyambungnya dan barang siapa yang memutusnya maka Allah Allah akan memutusnya.” Abu Dawud berkata; Abu Syajarah adalah Katsir bin Murrah. Abu Dawud berkata; Makna dari kalimat lemah lembutlah kalian terhadap tangan saudara kalian adalah, apabila ada seseorang yang baru datang dan masuk ke dalam shaf, maka yang lain hendaknya melemaskan pundaknya hingga dia dapat masuk ke dalam shaf (H.R. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, 1/178)

Dari Sahabat Anas bin Malik

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ

Dari Nabi Saw bersabda “sempurnakanlah shaf-shaf kalian, sungguh aku melihat dari belakangku” lalu kami saling menempelkan bahu dan kaki satu sama lain (HR. Bukhari, Sahih al-Bukhari, 1/146 No. 725)

عَنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : رُصُّوا صُفُوفَكُمْ وَقَارِبُوا بَيْنَهَا وَحَاذُوا بِالأَعْنَاقِ ، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ كَأَنَّهَا الْحَذَفُ

Dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Rapatkan shaf shaf kalian, dekatkanlah jarak antara keduanya, dan sejajarkanlah antara leher-leher. Demi Dzat yang jiwaku berada di TanganNya, sesungguhnya saya melihat setan masuk ke dalam celah celah shaf itu, tak ubahnya bagai anak kambing kecil.” (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, 1/179)

Sahabat Barra’ bin Azib

كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَتَخَلَّلُ الصَّفَّ مِنْ نَاحِيَةٍ إِلَى نَاحِيَةٍ يَمْسَحُ صُدُورَنَا وَمَنَاكِبَنَا وَيَقُولُ : لاَ تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ يَقُولُ : إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصُّفُوفِ الأُوَلِ.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa memasuki celah celah shaf, dari ujung ke ujung lainnya seraya mengusap dada dan pundak kami, lalu bersabda: “Janganlah kalian berselisih, sehingga akan membuat hati kalian berselisih juga.” Beliau juga bersabda: “Sesungguhnya Allah dan para malaikatNya bershalawat kepada shaf shaf pertama.” (H.R. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, 1/178)

عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَرَاصُّوا فِي الصَّفِّ لاَ يَتَخَلَّلُكُمْ أَوْلاَدُ الْحَذَفِ قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ مَا أَوْلاَدُ الْحَذَفِ ؟ قَالَ : ضَأْنٌ جُرْدٌ سُودٌ تَكُونُ بِأَرْضِ الْيَمَنِ

Rapatkanlah dalam shaf supaya anak-anak al hadzaf tidak mengisi celah diantara kalian. Aku bertanya “apa maksud anak-anak al-hadzaf itu ?” beliau menjawab “kambing kecil hitam biasanya dari negeri Yaman” (H.R. al-Hakim, al-Mustadrak, 1/217)

Secara umum para ulama sepakat mengenai kesahihan dalil-dalil yang digunakan, namun persoalan ada pada aspek wajh addilalah dan metode istinbat dari hadis-hadis tersebut, sehingga megakibatkan perbedaan kesimpulan. Sebagian ulama ada yang berpandangan bahwa kaifiyat merapatkan shaf adalah dengan saling menempelkan kaki dan bahu. Argumentasinya adalah sebagai berikut :

1. Penerapan kaidah
الْأَصْلُ فِي الْكَلَامِ الْحَقِيقَةُ
Asal dalam kalimat adalah hakiki
Makna Ilzaq sinonim dengan ilshaq artinya menempelkan, karena itu maksud wajh al-Istidlal kalimat. Imam al-Kirmani mendukung pemaknaan secara hakiki

(باب إلزاق المنكب بالمنكب) الإلزاق هو الإلصاق
“Bab ilzaq bahu dengan bahu” makna al-ilzaq itu sinonim dengan al-ilshaq (artinya menempelkan) (al-Kawakib al-Darary fi Syarh Sahih al-Bukhari, 5/97)

وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ
kami saling menempelkan bahu dan kaki satu sama lain
maksud kalimat diatas adalah menempelkan bahu dan kaki satu sama lain secara hakiki, tidak ada qorinah yang mengharuskannya berpaling kepada arti majaz. Hadis diatas merupakan bayan al-fi’li atau kaifiyat terkait bagaimana merapatkan dan meluruskan shaf para sahabat merupakan generasi terbaik, karena itu qoul dan tindakan mereka dapat dijadikan hujjah. Disamping itu Rasulullah Saw tidak melarang atau mentaqrir perbuatan sahabat tersebut. Sesuai dengan kaidah
تأخير البيان عن وقت الحاجة لا يجوز
“Tidak boleh mengakhirkan penjelasan dari waktu yang dibutuhkan”

2. Perintah merapatkan shaf itu maksudnya dengan menempelkan satu sama lain
قوله : ” تراصوا ” ، أي : تلاصقوا حتى لا يكون بينكم فرج
“Makna “taraashuu” yaitu saling tempel (kaki)lah kalian sehingga tidak ada celah kosong” (Syarh as-Sunnah, 3/365)

3. Perintah untuk mengisi celah yang kosong, maka mafhum mukhalafahnya melarang adanya celah, sedangkan jika tidak dirapatkan atau ditempelkan, maka keumungkinan besar akan terbuka celah masuknya setan, wajh al Istidlalnya kalimat
وَسُدُّوا الْخَلَلَ
“Dan tutuplah celah-celah (dalam shaf)”
فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ كَأَنَّهَا الْحَذَفُ
“Demi Dzat yang jiwaku berada di TanganNya, sesungguhnya saya melihat setan masuk ke dalam celah celah shaf itu, tak ubahnya bagai anak kambing kecil”

4. syariat diturunkan tidak untuk memberatkan, tapi diberi kemudahan untuk melaksanakannya. Karena itu jalankan syariat tersebut semampunya.

5. Adapun jika dapat mengganggu, maka illat tersebut relative bagi tiap orang, karena itu tidak dapat diterima
Diantara para ulama yang berpandangan seperti ini adalah al-Kirmani (al-Kawakib ad-Darari fi Syarh Sahih al-Bukhari, 5/97), Ahmad bin Ismail al-Kawarani (al-Kaustar al-Jari ila Riyadh ahadits al-Bukhari), al-Albani (as-Sahihah, 6/77), Syamsul-Haqq Al-‘Aadhiim Aabaadiy (Aun al-Ma’bud, 2/256).

Pendapat kedua, maksud hadis ilzaq itu bukanlah makna hakiki, yaitu menempelkan kaki dan bahu satu sama lain, tapi maknanya majazi, ungkapan mubalaghah (hiperbolik) yaitu penggambaran betapa pentingnya lurus dan rapatnya shaf. Pendapat ini merupakan mayoritas ulama (Faid al-Qadir Syarah Sahih al-Bukhari, 2/486). Qorinah dan alasannya adalah sebagai berikut :

1. Arti hakiki ilzaq adalah menempelkan. Namun arti yang lebih tepat adalah secara majazi yaitu mubalaghah lurus dan rapat shaf serta mengisi celah kosong.
باب إلزاق المنكب بالمنكب والقدم بالقدم في الصف” المراد بذلك المبالغة في تعديل الصف وسد خلله
“Bab menyentuhkan pundak dengan pundak ; kaki dengan kaki dalam shaf” maksud dari fikih bab tersebut adalah ungkapan hiberbolis (mubalaghah) perintah dalam saking lurusnya barisan dan menutup celah yang kosong (Lafadz dari fathul Bari 2/211, lihat juga Irsyad al-Sari, 2/67, Umdah al-Qari, 5/259 )
Begitu pula dengan kalimat تراصوا atau رُصُّوا صُفُوفَكُمْdalam hadis-hadis maksudnya merapatkan shaf, tanpa harus ditempelkan, sebagaimana dalam kasus makna ilzaq.

2. Rasulullah Saw memerintahkan untuk “melunakan pundak” maksudnya memberi celah bagi makmum yang ingin masuk dalam shaf, dari perintah diatas dapat difahami bahwa shaf para sahabat itu tidak saling menempelkan kaki, bahu dan lututnya, sekiranya ditempelkan tentunya tidak ada kesempatan atau kecil kemungkinan dapat memberi celah bagi makmum yang lain untuk memasuki shaf. Wajh al Istidlalnya kalimat
وَلِينُوا بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ
”lemah lembutlah terhadap kedua tangan saudara kalian”
3. Kita diperintahkan untuk menutup celah shaf supaya tidak masuk setan didalamnya, pertama diumpamakan dengan anak kambing yang lalu lalang dalam celah shaf, kedua, Rasulullah Saw sendiri yang mengecek rapatnya shaf yaitu dengan lalu lalang zigzag diantara shaf. Dengan demikian ukuran rapatnya shaf itu selama tidak masuk orang atau anak kambing, dan hal tersebut tidak mesti dirapatkan. Wajhul istidlalnya kalimat pertama, kalimat وَسُدُّوا الْخَلَلَ yang artinya “Dan tutuplah celah-celah (dalam shaf)”. Disamping itu kalimat-kalimat dibawah ini
فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ كَأَنَّهَا الْحَذَفُ
“Demi Dzat yang jiwaku berada di TanganNya, sesungguhnya saya melihat setan masuk ke dalam celah celah shaf itu, tak ubahnya bagai anak kambing kecil”
كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَتَخَلَّلُ الصَّفَّ مِنْ نَاحِيَةٍ إِلَى نَاحِيَةٍ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa memasuki celah celah shaf, dari ujung ke ujung lainnya

4. JIka diartikan hakiki, praktiknya dapat mengganggu kekhusyuan antar makmum dan sulit menjalankan kaifiyat secara tu’maninah dalam salat berjamaah. Padahal kita diperintahkan untuk menjalankan kaifiyat secara khusyu dan tu’maninah. Sebaliknya menjauhi hal yang dapat mengganggu kekhusyuan dan ketu’maninahan dalam salat.
ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا
kemudian rukuklah sampai benar-benar rukuk dengan thuma’ninah (tenang), lalu bangkitlah (dari rukuk) hingga kamu berdiri tegak, lalu sujudlah sampai hingga benar-benar thuma’ninah, lalu angkat (kepalamu) untuk duduk hingga benar-benar duduk dengan thuma’ninah. Maka lakukanlah dengan cara seperti itu dalam seluruh shalat (rakaat) mu.”(H.R. Bukhari, Sahih al-Bukhari, 1/158)

5. Jika ada perintah ilzaq, maka semestinya ada dalil pula untuk memisahkannya. Karena itu jika konsisten, maka harus dalam setiap keadaan dalam salat, termasuk dalam rukuk, i’tidal, sujud, duduk dinatara dua sujud dan duduk tasyahud. Hal tersebut akan menyulitkan pada prakteknya. Sementara itu kami belum menemukan dalil melepaskan tempelan kaki, bahu dan lutut dalam salat secara khusus dalam salat.

6. Jika difahami secara zahir, maka akan menyulitkan makmum, karena tiap orang dalam shaf akan berusaha untuk menempelkan tumit dan bahu antar orang dalam shaf, sedangkan manusia berbeda-beda tinggi dan besarnya.

7. Jika seandainya diartikan secara hakiki, perbuatan para sahabat dengan menempelkan tumit dengan tumit maksudnya hanya pada awal sebelum salat saja untuk meluruskan shaff, salah satunya dengan mempertemukan atau meluruskan tumit, tidak ada riwayat mereka meneruskannya ketika salat, karena tujuannya hanya sekedar metode meluruskan saja. Namun jika telah lurus, maka tidak ada kebutuhan lagi untuk melakukannya secara konsisten dalam salat. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh imam Ibn Rajab
حديث أنس هذا : يدل على أن تسوية الصفوف : محاذاة المناكب والأقدام
“Hadis anas menunjukan kepada perintah meluruskan shaf-shaf yaitu dengan meluruskan kaki dan telapak kaki” (Fath al-Bari, 5/144)

Dari dua pendapat diatas, argumentasi yang lebih kuat adalah pendapat kedua. Walllahu a’lam

Kesimpulan :

Pertama, al-Ilzaq adalah mubalaghah (hiperbolik) dalam meluruskan dan merapat shaf serta mengisi celah kosong
Kedua, disyariatkan meluruskan dan merapatkan shaf dengan menutup celah kosong, seukuran tidak masuk anak kambing atau manusia, tanpa mesti ditempelkan
Ketiga, menempelkan kaki (tumit), lutut dan pundak dalam shaf ketika salat hukumnya makruh.